ANCAMAN KETULIAN PADA BALITA & REMAJA

Oleh : dr. Damayanti Soetjipto Sp.THT-KL (K)

http://ketulian.com/v1/web/index.php




Ketua
Komnas PGPKT
[Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian]





---
Pendahuluan
Gangguan pendengaran pada anak bukan sekedar masalah kesehatan tetapi mempuyai dampak berat karena menyangkut gangguan komunikasi, penyulit dalam pendidikan, gangguan kemampuan bersosialisasi dan merendahnya produktivitas ekonomi.

Data WHO mengenai angka gangguan pendengaran dan ketulian sungguh mengejutkan. Pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 275 juta (4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan setengahnya berada di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang mempunyai prevalensi ketulian cukup tinggi yaitu 4,6%, dan angka ini meningkat terus akibat pelayanan kesehatan yang rendah dan akses ke pelayanan gangguan pendengaran terbatas.

Data Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran (1994-1996) menunjukkan morbiditas tinggi, penyakit telinga 18.5 %, prevalensi gangguan pendengaran 16,8 % sedangkan ketulian pada 0,4.% populasi dan paling tinggi di kelompok usia sekolah (7-18 tahun).
Selanjutnya data WHO menyebutkan bayi lahir tuli (tuli kongenital) berkisar 0,1-0,2% dengan risiko gangguan komunikasi dan akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan bangsa. Dengan angka kelahiran di Indonesia sekitar 2,6% maka setiap tahunnya akan ada 5200 bayi tuli di Indonesia. Bayi lahir tuli merupakan kelainan terberat, karena anak bisa belajar bicara melalui proses meniru kata-kata yang didengarnya. Jika tidak mendengar maka anak tidak bisa bicara dan berkomunikasi, selanjutnya tidak bisa belajar dan menjadi warga yang terbelakang.

Ancaman saat ini adalah bising di area publik seperti tempat hiburan anak di mal-mal dan pada remaja akibat pemakaian iPod berlebihan dengan risiko gangguan pendengaran dan mempercepat timbulnya tuli presbikusis yang biasa timbul pada orang tua umur 70 tahun menjadi timbul pada usia 40 tahun.
Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) dibentuk Departemen Kesehatan RI berdasarkan SK.Menkes RI No. 768/Menkes/SK/VII/2007, telah mengetarai bahwa bising di tempat main anak di mal-mal bervolume tinggi sehingga diperkirakan bisa menyebabkan gangguan pendengaran pada anak-anak termasuk balita serta remaja yang sering memanfaatkan tempat main tersebut sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Komnas PGPKT mengukur nilai desibel dari kebisingan di berbagai tempat main anak di mal-mal beberapa kota di Indonesia.

Cara Pengukuran
Alat pengukur yang dipakai adalah alat Mini Sound Level Meters dengan spesifikasi Level Range antara 30-130 desibel (dB)
Tempat pengukuran adalah di dalam tempat main anak di sebelas tempat di Indonesia yaitu di Denpasar, Jakarta (3 tempat), Cikarang, Surabaya, Makassar, Padang, Palembang, Medan, Bandung, Sorong. Tiga tempat di Jakarta adalah dua mal di Jakarta Selatan dan satu mal di Jakarta Utara.
Hasil pengukuran didokumentasi dalam foto dan video.
Pengukuran dilaksanakan sejak Juli 2009 sampai dengan November 2010

Hasil Pengukuran
Semua tempat mempunyai nilai kebisingan yang di atas 90 dB. Bahkan ada beberapa tempat yang sudah mendekati 100 dB

Kesimpulan
Bising di tempat kerja yang sudah ada peraturannya yaitu dari Menaker (SK Menaker 1999), yang menyatakan bahwa ambang batas bising yang berbahaya menyebabkan ketulian adalah sebesar 85 dB, maka pekerja diharuskan memakai proteksi telinga seperti ear plug, ear muff dan lain-lain pada kebisingan senilai 85 dB dan di atasnya.
Jika tidak memakai alat proteksi telinga maka ada pembatasan lama pajanan perhari atau jam.
Dengan hasil terendah pengukuran sebesar 91,6 dB, maka anak hanya boleh bermain selama 2 jam, tetapi jika kebisingan mencapai 97 dB, maka anak hanya boleh bermain-main di tempat tersebut selama ½ jam saja yang tentunya tidak akan memuaskan bagi si anak.
Jenis ketulian yang terjadi adalah di frekuensi 4000 hertz sehingga awalnya tidak mengganggu dalam percakapan sehari-hari yang berada di frekuensi lebih rendah yaitu 250-500 dB. Selanjutnya akan terjadi penurunan pada semua frekuensi dan jika ini dirasakan, biasa berselang setelah 5-10 tahun, maka ketuliannya bersifat permanen dan tidak dapat diobati.
Tempat main anak di mal-mal ini memang sangat menarik. Warna warni yang cerah dan segar serta mencolok mata, sangat menarik bagi anak-anak. Tidak heran jika tempat ini saat akhir minggu dipenuhi oleh balita, anak-anak dan remaja. Keberadaan tempat ini sebagai tempat hiburan bagi anak-anak dan remaja harus disokong tetapi tentu harus diberi rambu-rambu berupa peraturan pemerintah untuk mengendalikan bising di tempat tersebut.
Diharapkan pemerintah segera mengetahui dan membuat regulasi yang bersifat melindungi masyarakat terutama yang masih balita, anak-anak dan remaja dari bahaya bising yang dapat menyebabkan ketulian.


---

Catatan Tambahan [dari Red.] 
...



Kebijakan Perlindungan Anak dari Bising, Ketulian & berkebutuhan khusus
Pengertian Dasar mengenai Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan dan Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh kembang, dan partisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dalam lokakarya ini dibahas pula bahwa setiap anak lahir unik, memiliki spesifikasi tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan anak yang lain. Sistem ’gebyah-uyah’ sebetulnya tidak dapat diberlakukan. Di masa yang akan datang, meski pun di kelas atau tingkat yang sama, pendidikan atau pola pengajaran dan pembelajaran akan berlangsung berdasarkan situasi dan kondisi pada setiap anak. Lokakarya ini kemudian memaparkan begitu banyaknya kasus ’salah persepsi’ dan ’salah kaprah’ dalam mengkategorikan atau pun melihat kekurangan dan kelebihan sang anak. Misalnya kasus tunarungu, masih banyak yang salah duga bahwa anaknya menderita kerusakan pada pita suara mereka sehingga tidak mampu mengeluarkan suara dari tenggorokannya, padahal pendengarannya yang mengalami ketulian sehingga tidak mampu mendengar dan menirukan suara. Demikian juga sebaliknya, penanganan yang tidak sesegera mungkin bagi mereka akan mengakibatkan perkembangan emosi sang anak yang tidak normal akibat frustrasi karena ingin mengekspresikan narasi yang ada dalam benak mereka, selain keterlambatan bicara dan belajar.

Anak berkebutuhan khusus [ABK] meliputi:
• Anak Tunanetra, adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian
• Anak Tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik sebagian atau menyeluruh dan biasanya memiliki hambatan dalam berbahasa, berbicara, dan komunikasi.
• Anak Tunagrahita adalah anak yang memiliki taraf inteligensi yang signifikan berada di bawah rata-rata anak seusianya dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.
• Anak Tunadaksa adalah anak yang secara umum memiliki ketidakmanpuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal.
• Anak Tunalaras adalah anak yang memiliki masalah sosial-interpersonal dan masalah intrapersonal ( dari dalam diri) yang ekstrim.
• Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) atau Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan anak dengan gangguan perkembangan dan neurologis yang ditandai dengan sekumpulan masalah berupa ganggguan pengendalian diri, masalah rentang atensi, hiperaktivitas dan impulsivitas yang menyebabkan kesulitan berperilaku, berfikir dan mengendalikan emosi, yang mengganggu kehidupan sehari-hari.
• Gangguan Spektrum Autisma / Autism Spectrum Disorders ( ASD) adalah gangguan perkembangan yang memiliki karakteristik gangguan dalam tiga area dengan tingkatan berbeda-beda, ketiga area tersebut adalah kemampuan komunikasi, interaksi sosial, serta pola-pola perilaku yang repetitif dan stereotip. Karakteristik ini muncul sebelum usia 3 tahun.
• Anak Tuna Ganda dan Majemuk adalah anak yang memiliki dua atau lebih gangguan sehingga diperlukan pendampingan dan pelayanan pendidikan khusus.
• Lamban Belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan intelektual. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, memerlukan waktu dalam merespon rangsangan dan beradaptasi secara sosial.
• Anak Kesulitan Belajar Khusus (Specific Learning Disabilities) adalah anak yang mengalami hambatan/penyimpangan pada satu atau lebih proses-proses psikologis dasar (kondisi seperti gangguan persepsi, kerusakan otak dll) yang mencakup pengertian atau penggunanan bahasa, baik lisan maupun maupun tulisan, dimana hambatannya dapat berupa ketidakmampuan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Batasan ini tidak mencakup anak-anak yang mengalami hambatan belajar akibat dari gangguan visual, pendengaran, atau motorik, keterbelakangan mental, dan gangguan emosional atau kurangnya stimulasi dari lingkungan.
• Anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah anak yang mengalami hambatan dalam komunikasi verbal yang efektif, sedemikian rupa sehingga pemahamann akan bahasa yang diucapkan berkurang. Manifestasi kelainan bicara dapat dalam bentuk-bentuk berbeda seperti terlambat bicara, pemakaian bahasa dibawah usia, keganjilan dalam artikulasi, penggunaan bahasa yang aneh, gagap, intonasi/kualitas suara, penggunaan kata yang tidak tepat, ekspresi diri yang buruk, dan gangguan bicara secara menyeluruh.
• Anak yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa adalah anak yang memiliki skor inteligensi yang tinggi (gifted)dan mereka yang unggul dalam bidang-bidang khusus (talented) seperti musik, seni, olah raga, kepemimpinan maupun akademik khusus seperti matematika, dan sebagainya

Upaya yang dilakukan Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak: Melakukan kajian terhadap pelaksanaan/ implementasi kebijakan perlindungan untuk mengurangi kebutuhan yang tidak dan belum terpenuhi (unmet needs); Mendorong terlaksananya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan dan penatalayanan; Mendorong Kementerian/Lembaga terkait dan pemerintah daerah untuk tersedianya anggaran yang sesuai dengan kebutuhan perlindungan dan penatalayanan; Mengupayakan terwujudnya system perlindungan di lintas sektoral terkait, organisasi profesi, lembaga masyarakat, keluarga dan dunia usaha baik di tingkat pusat maupun daerah; Mendorong Kementerian/Lembaga terkait untuk melakukan monitoring dan evaluasi dalam upaya menjamin efektifitas penyelenggaraan perlindungan dan perlindungan; Meningkatkan Koordinasi, advokasi, sosialisasi, fasilitasi dan harmonisasi kebijakan perlindungan di semua K/L, baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota; Meningkatkan penyediaan data dan informasi secara terpilah; Meningkatkan penyelenggaraan intervensi dan deteksi dini; Meningkatkan penyediaan fasilitas umum yang ramah; Menjamin adanya kepastian hukum bagi perlindungan dan penatalayanan; Mendorong tersedianya kualitas SDM dalam perlindungan dan penatalayanan di bidang pendidikan, sosial, kesehatan dan tenaga kerja oleh K/L dan Pemda Propinsi, Kabupaten/Kota; Meningkatkan peran serta orangtua, keluarga dan masyarakat melalui kegiatan berbasis masyarakat dalam upaya perlindungan dan penatalayanan; Mengupayakan adanya kesepakatan (MoU) antar K/L terkait, Perda dalam perlindungan; Menyusun Pedoman / panduan umum tentang penanggulangan masalah; Mendorong pengalokasian anggaran yang sesuai dengan kebutuhan melalui advokasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan / pengambil keputusan di Kementerian/Lembaga, Pemda Propinsi, Kabupaten/Kota; Membentuk forum koordinasi / gugus tugas / kelompok kerja perlindungan dengan semua sektor terkait pada tingkat Kementerian/Lembaga, Propinsi dan Kabupaten/Kota; Membuat sistem pencatatan dan pelaporan perlindungan dan penatalayanan; Advokasi dan sosialisasi kebijakan perlindungan bagi aparatur K/L terkait, Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota; Mendorong Kementerian terkait untuk penyediaan fasilitas umum yang ramah; Melakukan mini survei berkala; Membuat soft ware untuk penyediaan data; Mendorong perguruan tinggi / fakultas pendidikan untuk mengadakan pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus; Mengadvokasi berdirinya institusi atau lembaga bagi anak dengan kecacatan yang dilakukan oleh LSM; Menyusun RAN dan memfasilitasi tersusunnya RAD mengenai perlindungan dan penatalayanan.

Landasan Filosofis : Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 4 “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Anak mempunyai Hak Azazi Harkat dan Martabat

Pasal 21 UU PA
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Pasal 26 UU PA:
1.Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkembangakan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, dan;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2. Dalam halo rang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23 Kepres No.36 tahun 1990 tentang Konvensi Anak:
1. Negara-negara peserta mengakui bahwa seseorang anak yang menderita cacat mental dan fisik hendaknya menikmati kehidupan penuh dan layak, dalam keadaan-keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan memeprmudah peran serta aktif anak dalam masyarakat.
2. Negara-negara peserta mengakui hak anak cacat atas perawatan khusus dan akan mendorong dan menjamin pemberian, berdasarkan sumber-sumber daya yang tersedia, kepada anak yang berhak serta mereka yang bertanggungjawab atas perawatannya, bantuan yang diminta dan yang layak bagi keadaan anak dan bagi lingkungan orang tua dan orang lain yang merawat anak.
3. Dengan mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus anak cacat, bantuan, bila mungkin sesuai dengan paragraph 2 pasal ini akan diberikan secara Cuma-Cuma, dengan memperhatikan sumber keuangan orang tua atau pihak lain yang mengasuh anak bersangkutan, dan akan dirancang untuk menjamin bahwa anak cacat bisa secara efektif memperoleh pendidikan, pelatihan, pelayanan-pelayanan perwawtan kesehatan, pelayanan-pelayanan rehabilitasi, persiapan untuk bekerja dan peluang-peluang untuk rekreasi sedemikian rupa sehingga bisa menjurus kepada keberhasilan anak untuk mencapai integrasi sosial dan pengembangan pribadi sepenuh mungkin, termasuk pengembangan kebudayaan dan spiritualnya.
4. Negara-negara peserta akan meningkatkan, dalam semangat kerja sama internasional, pertukaran informasi yang tepat dalam bidang pelayanan kesehatan pencegahan dan tentang perawatn medis, psikologis dan fungsional anak cacat, termasuk penyebarluasan dan pelayanan kejuruan, dengan tujuan memungkinkan negara-negara Peserta meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka dan memperluas pengalaman mereka dalam bidang-bidang ini. Dalam hal ini, perhatian khusus harus diberikan kepada kebutuhan negara-negara berkembang.
Perpres No. 05 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014
>>> Program tentang Perlindungan Anak


---
Bogor, 3-4 Mei. Lokakarya Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak RI